Action

Kamis, 17 Januari 2008

Konversi Elpiji di Rumahku

Sulitnya Memodernisasi Masyarakat Indonesia

Dua minggu yang lalu, keluargaku mendapatkan bantuan konversi elpiji dari pemerintah.
Hal ini kusambut dengan luar biasa karena di keluargaku belum pernah memakai kompor elpiji. Tapi ibuku menyambutnya dengan biasa aja, bahkan cenderung takut. Maklum pemikiran “orang dulu”, takut kalo meledak-lah, bahaya-lah, mahal-lah. Padahal sudah banyak sosialisasi mengenai kompor elpiji ini kalau kompor ini aman, hemat dan lebih cepat dalam memasak. Tapi tetep juga ibuku gak mau percaya meskipun aku juga sering menjelaskan sampai bibirku berbusa.

Meskipun demikian, akhirnya kuambil juga bantuan tersebut dan kurakit sendiri. Memang sih, dari kualitas kompornya gak begitu bagus. Regulatornya agak gak fungsi tapi dengan sedikit modifikasi akhirnya menyala juga kompor itu. Namun ibuku tetep juga gak mau pake tuh kompor (takut atau gak bisa nyalain ya? hehehe) sehingga nyaris tuh kompor nganggur. Sempet kuajarin sih cara ngoperasiin tuh kompor, tapi beliau juga masih malu-malu kucing.

Pernah dibuat untuk memasak nasi dan menggoreng tapi hasil masakannya jadi gosong semua. Ketika kutanya ke beliau, ibuku menjawab,” Gak lagi pake kompor elpiji, matengnya kecepetan. Ditinggal bentar eh masakannya udah mateng”. Akhirnya ibuku kembali memakai kompor minyak tanah kesayangannya (dasar orang udik, hehehe).
Jadinya tuh kompor cuman dipake untuk memasak air doang karena cepet mendidihnya, sampai sekarang.

Photobucket

Photobucket
(ini nih tabungnya)

Mungkin ibuku inilah gambaran masyarakat tempo doeloe, yang memang adalah sebagian besar gambaran masyarakat Indonesia. Ini terbukti dari sekian banyaknya bantuan konversi elpiji tapi masih banyak yang tidak diambil. Di halaman kelurahanku saja banyak kompor elpiji yang nganggur tanpa “pemilik”. Mungkin karena mereka gak tahu dan gak mau merubah gaya hidup yang sudah paten memakai kompor minyak tanah.

Ada juga yang sudah diberi tapi sampai sekarang nganggur tidak dipergunakan. Ya mungkin seperti ibuku tadi gak tahu mesti diapain. Bahkan ada yang uda diberi bantuin eh setelah itu kompornya dijual. Bahkan yang lebih parah lagi kasus di Malang Selatan yang kubaca di koran. Pemda disana sempet meniadakan “keberadaan” minyak tanah karena masyarakatnya sudah diberi bantuan kompor elpiji. Walhasil, oleh karena masyarakat disana belum siap dengan keberadaan kompor elpiji maka mereka menjualnya dan karena juga tidak bisa memasak dengan kompor minyak tanah maka mereka beralih lagi ke cara tradisional yaitu dengan membabat hutan untuk dijadikan kayu bakar. Parah gak tuh...
Inilah yang membuat pusing Pertamina, hehehe...

Wah...wah...ternyata gak semudah itu ya mengubah gaya hidup dan pola pikir masyarakat kita ini. Pemerintah harus berpikir keras untuk memodernisasi perilaku masyarakatnya. Inilah PR yang sulit buat pemerintah. Aku punya saran buat pemerintah. Sarannya adalah Tolong modernisasi gaya hidup dan pola pikir ibuku dulu, baru kalo sukses aku yakin pemerintah bisa memodernisasi masyarakat Indonesia seluruhnya, hehehe...(ini serius lho...100%)

Thanks to: My mom, yang sampai sekarang masih begitu “setia” dan “mencintai” kompor minyak tanahnya.

Tidak ada komentar: